Give What They Need
Kesan pertama yang saya rasakan mengenai LFL adalah; acara reuni alumni ISI. Pertanyaan - pertanyaan seperti; “kok isine cah ISI kabeh?”, “reuni po yo?”, atau pernyataan; “gayeng iki.” . Pertanyaan dan pernyataan tersebut terjawab semua dengan hal yang positif. Memang sebagian besar peserta yang mengikuti kegiatan ini adalah alumni ISI Yogyakarta yang juga berdomisili di Yogyakarta. Memang akhirnya terasa seperti reuni antar angkatan, namun hal tersebut membuat saya lebih nyaman dan merasa berada dalam keluaga sendiri. Satu hal yang menjadi sesuatu yang baru, semua senior saya menjadi seseorang yang sudah berdampak. Bukan karena mereka sukses akan usaha yang mereka kerjakan, tetapi karena konsistensi mereka di bidang DKV.
Saya memang tercatat sebagai seorang dosen, namun saya tidak pernah merasakan bahwa saya adalah seorang dosen. Untuk saya, seorang dosen merupakan seorang sosok penuntun yang bisa memberikan pengajaran dan motivasi murid – muridnya untuk melakukan apa yang mereka impikan. Hal tersebut merupakan persepsi atas seorang dosen sebelum saya mengikuti LFL, dan ternyata persepsi yang berasal dari diri saya tersebut merupakan definisi atas kata ‘dosen’ bagi para mentor LFL. Senang sekaligus bangga selama ini saya mempunyai sudut pandang yang tidak salah.
Materi – materi yang diberikan oleh para mentor sejak hari pertama kegiatan sampai hari terakhir ini semakin mencelikkan mata saya, bahwa saya belum melakukan apa – apa untuk bisa disebut sebagai ‘dosen’. It’s not about the rule, it’s about ‘what have you done for them?’ Hari ini, setelah saya mempresentasikan tugas – tugas yang saya kerjakan, ternyata banyak komentar yang sedikit kurang baik untuk saya, dan keimpulan yang saya dapatkan adalah; “I should be learn to understand the place and the condition (the audience need) to communicate our knowledge.”